PEMIMPIN HAMBA ATAU HAMA?
Pdt. Dr. Timotius Bakti Sarono
Miris rasanya melihat tingkah polah pemimpin gereja yang memandang jabatan sampai mengeluarkan air liurnya. Hal itu berarti jabatan adalah segalanya, “mau banget” demikian bahasa gaulnya. Persepsi diri yang identik kerakusan jabatan dapat dianalisa baik secara kuantitatif maupun kualitatif tanpa melalui metodologi penelitian. Deskripsinya sudah jelas, didapati bahwa antara esensi dan substansi kepribadiannya tidak sinkron bahkan disinyalir tidak proporsional[1]. Model orang tersebut akan menghalalkan segala cara dalam meraih jabatan. Tidak peduli menari-nari di atas mayat orang lain dan tertawa lebar di atas ratapan para korban, yang penting Libido menuju tahta[2] tersalurkan. Kendaraan yang dipakainya adalah trick-trick kotor yang baunya anyir dengan roda-roda yang berisik memekakkan telinga dengan perkataan yang hanya Lips servise alias tipu-tipu. Kebohongan public diramunya seolah-olah sebuah realita kebajikan. Namun realitasnya ngibul…ngibul…. Ngibul…. demikian bunyi sirene [3] ambulan yang membawa kemanapun ia mau pergi.
Fakta-fakta moral seseorang yang sering kali memproduksi korban sakit hati dan luka menganga di kalangan umat dan bawahannya menunjukkan track recordyang buruk. Perasaannya tumpul, nuraninya jahat namun wajah tanpa dosa. Bisa saja wajahnya tenang, cold, calm and Confidencedibalik senyumannya, wov.. sadis dan tanpa ampun. Model orang seperti ini membahayakan bangsa dan negara apalagi gereja Tuhan. Ngeri dan tidak tahu malu… dengan tidak menuduh dan menghakimi siapapun realitas gereja sekarang pemilihan pemimpin rohani lebih busuk daripada keduniawian. Salah satu dampak yang sudah menjadi tranding topik kisah Pendeta ditarik dari mimbar karena perkelahian kedua kandidat yang layak berdiri dimimbar menunjukkan hal-hal yang sangat memalukan[4]. Hilangnya kasih dan kelemahlembutan dan sembilan buah roh hilang tanpa bekas. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena karena hamba sudah berubah menjadi hama.
LIBIDO MENUJU TAHTA
Pdt. Dr. Timotius Bakti Sarono
Alkitab memang berbicara tentang menginginkan jabatan rohani itu memang baik[1] namun yang perlu dipermasalahkan adalah libido dalam menggapainya. Jabatan rohani harus dicapai dengan hal-hal rohani bukan dengan manifestasi keduniawian. Hanya orang gila saja yang pongah di atas tahta menggunakan jabatannya untuk menyengsarakan banyak orang. Luarnya senyum manis namun realitasnya ciuman Yudas iskariot tersungging dibibirnya. Karena ia memproduksi orang-orang yang terluka, marah dan puluhan orang-orang yang hengkang dari organisasi dari jabatan yang dipimpinnya. Ini pertanda kegagalan sang pemimpin menjaga kawanan domba karena dia bukanlah gembala domba melainkan merupakan gembala kambing bandot[2].
Mau dikata apa, bila orang sudah duduk lupa berdiri, orang harus melawan lupa akan banyaknya skandal buruk selagi berkuasa, harus terungkap dan supaya tidak terjadi lagi di esok hari. Banyak orang gagal paham dibuatnya sehingga wadah organisasi besar yang seharusnya menyemarakkan semerbak wewangi harum bunga sebaliknya anyir menyengat bau kotoran bangkai menusuk hidung. sahabat pernah bertutur kata : kalau lihat wajahnya rasanya aku mau muntah, ....sadis kali . Orang yang sehat seharusnya tidak berkubang memilih yang kotor dan najis tetapi bersih suci sesuai aroma kebenaran. Namun tetap praduga tidak bersalah harus diterapkan namun orang suci tahu dirinya suci sementara orang bejat akan tahu dirinya bejat[3]. Jangan juga kita menghakimi orang yang benar menjadi salah namun jangan pernah mengatakan orang salah itu menjadi benar. Namun yang paling tepat ialah jangan pernah menghakimi[4] siapapun baik pemimpin atau rekan sejawat dalam pelayanan. Apalagi memvonis aneka kesesatan demi syahwat kekuasaan.

Pesona pemimpin gereja adalah jabatan rohani yang menjadi daya tarik yang diminati banyak orang[1]. Integritasnya memancarkan kewibawaan Illahi yang membuat orang teduh, dan tertunduk memandangnya sebagai jabatan terhormat. Beberapa diantara menganggapnya sebagai wakil Tuhan di bumi, yang tidak pernah salah. Kata-katanya sebagai panutan yang menjadikan dirinya “public figure”[2] banyak orang. Bahkan diantaranya banyak salah persepsi menjadikan pemimpin rohaninya sebagai malaikat yang turun dari langit namun realitasnya iblis yang menyamar sebagai malaikat terang. Untuk itu para pemimpin harus menyadari dirinya sebagai panutan sehingga tidak boleh ceroboh dengan intrik politik keji yang selalu menciptakan pembunuhan karakter untuk teman sejawat. Para pemimpin rohani harus memproduksi orang yang mencintai Tuhan bukan sebaliknya menjadikan dirinya tenggelam dalam kemelekatan pangkat dan jabatan sebagai kebanggaan.
Di era digital ini para pemimpin gereja sedang naik daun karena dalam pemerintahanpun, sumpah jabatan membutuhkan figure seorang Pendeta. Ini berarti kedudukan pendeta lebih tinggi dari Presiden sekalipun. Bila Presidennya Kristen maka sumpah jabatannya harus di bawah tangan pendeta yang memegan Alkitab. Seperti kata pepatah : If God Called you to be a preacher don’t stoop to be a king” Bila Allah memanggilmu menjadi pengkotbah jangan pernah mau membungkuk menjadi raja. Pendeta saja terhormat apalagi pemimpinya para pendeta! Untuk itu menyadarkan setiap pemimpin bahwa kedudukannya setingkat Tuhan karena merupakan kawan sekerja Allah[3], yang identic koleganya Tuhan sehingga harus berkarakter seperti Tuhan bukan hantu.